Author Archives: accounting1st

Prosedur Audit Kas dan Setara Kas

Selamat berjumpa lagi ama blog gue yang udah lama kagak gue sentuh..

Ni cerita nya gue lagi peak season atau kata orang mah masa sibuk bagi auditor lah, soalnya ni kan bentar lagi mau batas laporan keuangan tebeka harus rilis maksimal 31 Maret 14, Anak-anak pada lembur ampe banyak yang nginep di kantor (tapi gue mah kagak, nyantey always .. :D). Makanya dari itu gue yang biasana hektik ampe lembur tiba-tiba ni kok peak season taun ini nyantey banget ya? pulang “Teng-go” terus, alhasil kalo malem gue kagak bisa merem, πŸ˜› .

Yaudah lah daripada insome kagak jelas mending gue mau cerita nih sharing gimana sih cara ngaudit kas dan setara kas?. Pertama kita kudu ngerti dulu apa itu kas? apa itu setara kas? Jono.. tolong sebutkan pengertian yang bapak maksud itu apa.. (nunjuk si Jono di pojokan).

Kalo gampangnya, kas adalah uang dan instrumen “negotiable” lainnya yang bisa digunakan buat transaksi pembayaran dan diterima oleh bank jika mau di deposit atau segera di kredit kan dalam bank. Ada beberapa jenis kas diantaranya Cash on Hand, Cash on bank, dan Cash fund. Nah.. kaslo setara kas itu biasanya dalam bentuk investasi jangka pendek dan tingkat likuidasinya tinggi yang diharapkan dalam jangka waktu kurang dari tiga bulan cair broooo… biasanya sih kas dan setara kas itu akunnya kurang dari tiga bulan udah bisa cair sih.

Dana kas biasanya dalam perusahaan ditujukan untuk kedua maksud:
1. buat operasional lancar: kas kecil, dana penggajian, dana perjalanan, dll.
2. buat operasional kagak lancar: sinking fund, dana insurance, dana untuk akuisisi, dll.

Biasanya kas dan setara kas di sajiin di laporan keuangan itu di taro di paling atas kalo di Indonesia, jadi dianggap paling likuid ya di taro di atas dan termasuk sub akun aset lancar.

Kebanyakan fraud atau kecurangan dalam kas itu adalah dalam bentuk window dressing biasanya dengan cara ni transaksi yang terjadi pada kas dan setara periode 2013 misalnya kagak di akui di tahun 2013 dan malah manajemen ngakuin transaksi itu di tahun 2014 biar laporannya keliatan bagus. Lapping biasanya dilakukan dengan cara menggelapkan transaksi dari satu pelanggan dan menyembunyikan penyalahgunaan/ penggelapan itu dengan cara menyembunyikannya dalam transaksi kolektif pada subsequent dari pelanggan lainnya. ada juga kitting, maling, dll. Pokoknya yang namanya kas dan setara kas itu riskan dan rawan penggelapan paling populer dah ampe kapan pun, soalnya di duit itu gak ada nama pemiliknya, pernah liat duit 100rb ada nama pemiliknya? πŸ˜›

Okeh.. sekarang kita menuju ke audit prosedurnya. pertama kita harus kenal dulu asersi disingkat dengan istilah ERCAVU (Existence and Occurent=keberdaan dan keterjadian, Right and Obligation=Hak dan Kewajiban, Completeness= kelengkapan, Valuation=Penilaian, CLassification and Understandbility=klasifikasi dan kepahaman) selanjutnya gue bakal jelasin prosedur dengan alfabet E,R,C,A,V,and U. Pokoknya kalau udah megang pemahaman ERCAVU dan didukung oleh logika yang tokcer, ngaudit mah bisa lah. biasanya resiko umumnya dalam kas dan setara kas adalah adalah E dan R. E untuk bertanya ada gak nih kas nya secara kongkrit seperti yang di sajiin di laporan keuangan? R buat nanya ini kas dan setara kas punya perusahaan apa bukan? di batesin apa kagak make nya?.

Langkah pertama yaitu dapetin dapetin list dan detail kas dan setara kas mutasi selama setahun yang di perluin, abis itu bandingin tuh saldo akhir per 31 Des 13 yang ada di list dengan saldo yang tercatat di laporan keuangan, sama gak? abis itu nanti loe cek dah dalam rincian yang lu dapet kira-kira dalem setaun itu ada transaksi aneh kagak? misal perusahaan ini jualan rempeyek tiba-tiba ada kas masuk dari penjualan bakso, nah itu lu mesti tanyain. selain itu lu selidikin kalo ada tambahan dana gede dari pinjeman manapun ya lu tanya dan mintain perjanjiannya. lu mintain jiga rekening koran dari bank asli per 31 Des 13 (ceritanya kita lagi ngaudit lapkeu per 31 Des 13) terus lu juga cek tu saldo per 31 Des 13 sama gak dengan Trial Balance/ Lapkeu klien? kalo sama ya syukur, kalo Beda? minta klien bikinin rekonsiliasi dilampiri bukti pendukungnya.

Langkah kedua lakuin Cash opname yaitu ngitung fisik duit terus fisik yang udah lu itung itu disamain amasaldo di report 31 Des 13, itu cash opname harus klien yang ngitung jangan ampe kita yang ngitung dan kalo ilang atau selisih lu kagak di salahin. hasil itung fisik kalo ada selisih ya minta rekon ama klien trus mintain bukti pendukungnya.

Langkah ketiga, lu bikin dan kirim surat konfirmasi ke bank buat konfirmasi saldo kas yang ada di bank per 31 Des 13 menurut bank itu berapa sih? kalo ada jawaban dari bank itu lu langsung samain dengan yang ada di TB atau report kemudian kalo gak sama ya minta rekon klien seperti biasa. lu tanyain ke klien tuh rekening bank yang ada semua di perusahaan peruntukannya buat apa sih? tanyain aja buat mastiin pengendaliannya gimana dari tiap rekening atau akunnya.

Langkah ke empat lu test dah kalo ada kas bank/ kas on hand dalam mata uang asing coba lu di konversi dengan nilai tuker mid-rate per 31 Des 13 terus lu cocokin ke per TB/ Lapkeu itu hasil kali nya sama ngga dengan hasil itungan lu itu. kalo selish ya lu adjust aja ke akun laba/rugi kurs mata uang asing lawannya kas sejumlah selisih itu.

Langkah kelima, Kalo perusahaan punya deposito ya lu tanyain jangan didiemin aja. tanya ke klien ni deposito buat apaan? lalu lakukan test reasonable yaitu dengan cara test bunga depositonya udah oke belum atau sama nggak dengan yang diterima selama outstanding? lu cek ke akun interest revenue. Selain itu, biasanya perusahaan belum munculin akun piutang bunga yaitu misal perusahaan punya deposito cair atau berbunga tiap tanggal 27, nah.. pas tanggal 31 Des 13 kan ada jangka waktu 4 hari (28,29,30,31) bunga yang bisa lu akuin sebagai pendapatan bunga tapi belum terealisasi so.. lu munculin dah piutang bunga di Debit dan lawannya pendapatan bunga di kredit.

Langkah kelima, lakuin prosedur cut-off/ pisah batas misal lu sampel 10 transaksi setelah dan sebelun 31 Des 13. lu ambil transaksi yang paling gede atau masuk sekop PAJE terutama mengenai transfer antar bank, terus lu vouching dah.

Abis semua itu lu cek lagi apa aja yang jadi issue dari tiap prosedurenya. sebenernya ni prosedur terus bisa dikembangin sesuai tingkat resiko, materialitas, dan nature dari akun itu sendiri.

Yaa.. minimal gini lah yang bisa lu lakuin bro, kalo masih bingung mending lu coba masuk kerja di KAP dah biar tau prakteknya gimana, kalo baca buku doank sih bagus tapi yaaa… pinter cuma “katanya buku doank” akwkwk. tapi gapapa sih, minimal lu dengan baca blog gue berarti ada niat belajar, beuh.. makanya jangan setengah2, nyemplung sekalian sinih ke dunia nya. hehe.. sukses bro..

Regards,

Pajak Atas Properti

Bisnis jual beli properti telah menjadi suatu hal yang menarik di Indonesia, setiap transaksi dari jual beli tersebut selalu berisi suatu kesepakatan dan teknik negosiasi diantara kedua belah pihak yang bertransaksi. Selain memperhatikan sisi kesepakatan dan teknik negosiasi, terdapat juga hal-hal yang harus diperhatikan dan diselesaikan kedua belah pihak yang bertransaksi sebagai suatu kewajiban terhadap Negara. Kewajiban tersebut adalah pajak yang harus di bayar/dipungut/ dipotong/disetor ke kas Negara.
Properti adalah segala sesuatu yang bersifat kebendaan yang dapat kita miliki. Menurut jenisnya properti dapat dibedakan dalam empat jenis yaitu real property, personal Property, businesses Property dan financial interests. Menurut Standar Penilaian Indonesia (SPI) properti didefinisikan sebagai konsep hukum yang meliputi seluruh kepentingan, hak dan keuntungan dari suatu kepemilikan. Berdasarkan pengertian tersebut maka kita dapat membedakan antara penguasaan fisik atas tanah dan atau bangunan yang dalam hal ini disebut dengan real estat serta kepemilikan secara hukum atau penguasaan yuridis yang disebut real Property.
Pajak yang dikenakan atas transaksi properti biasanya meliputi PBB, PPh, PPN, BPHTB, PPnBM, dan adapula PNPB. Transaksi yang terjadi dan dikenakan pajak tidak hanya transaksi jual beli saja, akan tetapi meliputi sewa-pinjam, konstruksi, hibah, dll. Dalam perkembangan perpajakan atas properti di Indonesia, para investor properti baik dalam negeri maupun asing sendiri memandang bahwa pajak yang dikenakan atas properti itu masih terlalu besar sehingga dalam prospek properti yang sangat baik kedepannya harus diimbangi dengan kebijakan perpajakan yang menguntungkan baik dari pihak investor maupun pihak negara.

Perlakuan Akuntansi Atas Properti

Properti yang ditekankan dalam akuntansi kali ini adalah properti investasi, yaitu properti yang dimiliki entitas untuk memperoleh pendapatan sewa dan/atau apresiasi modal. Properti investasi ini diharapkan memberikan sebagian besar arus kas masuk yang secara independen dari aset lain. Properti investasi tidak dimaksudkan untuk menghasilkan barang dan jasa ataupun untuk kegiatan administrasi. Contoh dari properti investasi ini adalah jika suatu entitas menyediakan jasa kepada penghuni maka dapat digolongkan sebagai properti investasi. Properti yang dimiliki oleh penyewa dengan perjanjian sewa operasi operasi mungkin adalah properti investasi jika dinyatakan memenuhi definisi properti investasi dan penyewa mengakuinya berdasarkan nilai wajar.
Properti yang ditempati pemilik adalah properti yang dimiliki oleh pemiliknya untuk tujuan produktif sendiri seperti administrasi dan produksi barang dan jasa. Sedangkan properti investasi sendiri diakui oleh penyewa dan dilaporkan dalam laporan keuangannya.
Ketika pada awal pengakuan properti investasi, entitas dapat membebankan biaya misalnya untuk memperoleh properti, biaya transaksi seperti biaya pajak dan legal, serta biaya selanjutnya untuk ditambahkan. Jika entitas melakukan pergantian bagian dari properti, maka entitas harus menilai ulang atas pengakuan yang merupakan bagian yang telah diganti tersebut. Jika harga properti tersebut ditangguhkan, mencatat sesuai biaya yang setara dengan harga tunai, dan mencatat selisih antara jumlah dan pembayaran yang ditangguhkan sebagai beban bungan selama periode kredit.
Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan atau selanjutnya disebut PSAK sebenarnya telah menyatakan suatu standar mengenai properti investasi yaitu pada PSAK No.13 (Revisi 2007). PSAK tersebut memberikan definisi mengenai properti investasi yaitu tanah, bangunan atau bagian dari bangunan, atau keduanya, yang dikuasai oleh entitas (atau lessee melalui finance lease) untuk mendapat rental atau capital gain, atau kedua-duanya, dan tidak untuk:
a. Digunakan dalam produksi atau penyediaan barang atau jasa atau untuk tujuan administratif; atau
b. Dijual dalam kegiatan usaha sehari-hari.
Apabila kita lihat dari definisi diatas dapat diketahui bahwa properti investasi adalah bagian dari aset yang tidak digunakan sendiri oleh pemiliknya. Properti investasi sendiri dapat dimiliki/dikuasai dengan cara kepemilikan, financial lease, operating lease. Kadang entitas menyediakan jasa di properti yang disewakannya. Kalau nilai jasa ini tidak signifikan dibandingkan nilai perjanjian sewa secara keseluruhan, maka properti diperlakukan sebagai properti investasi. Pernyataan ini menjelaskan salah satu syarat dari properti investasi yaitu, aliran kas (cash-flow) yang dihasilkan dari properti investasi ini dapat diatribusikan langsung (directly attributable) ke properti investasi tersebut. Sebagai contoh, gedung yang disewakan menghasilkan aliran masuk kas. Kas yang dihasilkan dapat diatribusikan langsung ke gedung tersebut. Namun, gedung yang disewakan ditambah jasa-jasa lain (seperti misalnya, jasa layanan kamar, resepsionis, kebersihan, dan kemananan), aliran kas yang dihasilkan tidak dapat diatribusikan langsung ke gedung karena aliran kas tersebut juga berasal dari jasa-jasa lain. Kecuali nilai jasa-jasa tersebut signifikan, properti tersebut diakui sebagai properti investasi.
Pengakuan dari properti investasi yaitu diakui sebagai asset properti investasi jika dan hanya jika besar kemungkinan manfaat ekonomis di masa depan dari asset yang tergolong properti investasi akan mengalir ke dalam entitas, dan biaya perolehan properti investasi dapat diukur dengan handal.
Properti investasi pada awalnya diukur sebesar harga perolehannya, biaya transaksi termasuk dalam pengukuran tersebut. Biaya perolehan awal hak atas properti investasi yang dikuasai dengan cara sewa dan dikelompokan sebagai properti investasi yang harus dicatat sebagai sewa pembiayaan seperti diatur paragraf 16 dalam PSAK 30: Sewa, dalam hal ini aset harus diakui pada jumlah mana yang lebih rendah antara nilai wajar dan nilai kini dari pembayaran sewa minimum. Jumlah yang setara harus diakui sebagai kewajiban sesuai dengan ketentuan paragraf yang sama.
Dalam pengukuran setelah pengakuan awal, entitas dapat memilih mengukur dengan menggunakan fair value atau cost model. Hal yang dikecualikan dari hal tersebut adalah ketika properti investasi tersebut dikuasai melalui operating lease, menggunakan fair value atas property interestnya.
Ada beberapa keadaan mengenai transfer properti investasi yaitu:
a. Bila aset kemudian dipakai sendiri: transfer dari properti investasi ke aset tetap.
b. Bila kemudian dijual untuk usaha: transfer dari properti investasi ke sediaan.
c. Bila tidak dipakai sendiri lagi: transfer dari aset tetap ke properti investasi.
d. Bila kemudian disewakan: transfer dari aset tetap ke properti investasi
e. Bila berakhir masa konstruksi untuk aset yang kemudian tidak digunakan sendiri: aset tetap ke properti investasi.
Pengukuran Transfer terdapat beberapa kondisi yang harus dipenuhi yaitu jika tidak menggunakan fair value maka transfer ke sediaan menggunakan lower of cost or NRV dan/atau transfer ke aset tetap menggunakan cost dikurangi akumulasi depresiasi dan impairment loss. Jika menggunakan fair value model maka transfer ke aset tetap menggunakan fair value, dan/atau transfer dari sediaan menggunakan fair value, pengukuran ulang masuk ke laba rugi, dan/atau transfer dari aset dalam konstruksi, menggunakan fair value, pengukuran ulang masuk ke laba rugi.
Pada saat aset mengalami Disposal maka Properti investasi tidak diakui lagi di laporan keuangan – kalau tidak ada benefit yang diharapkan di masa datang atau dilepas. Gain/loss hasil dari net disposal dan nilai bawaan diakui di laba rugi. Kecuali PSAK 30 mensyaratkan lain dalam lease & lease back). Selain itu, Kompensasi dari pihak ketiga sehubungan dengan penurunan nilai, kehilangan atau pengembalian properti investasi harus diakui dalam laba atau rugi ketika kompensasi tersebut menjadi piutang.

Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Atas Properti

Bidang properti menurut PP No. 13/2010, terdapat juga Penerimaan Negara Bukan Pajak atau PNPB yang sebenarnya berlaku pada Badan Pertanahan Nasional untuk hal sebagai berikut:
a. Pelayanan Pendaftaran Tanah Untuk Pertama Kali, dihitung berdasarkan rumus: T = (2‰ x Nilai Tanah) + Rp100.000,00;
b. Pelayanan Pemeliharaan Data Pendaftaran Tanah, dihitung berdasarkan rumus: T = (1‰ x Nilai Tanah) + Rp 50.000,00

Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPnBM) Atas Properti

Peraturan dan perundang-undangan perpajakan telah mengatur suatu pajak yang meliputi penjualan mengenai barang yang tergolong mewah yaitu Pajak Penjualan Barang Mewah atau selanjutnya disebut PPnBM. Properti yang tergolong barang mewah juga akan dikenakan PPnBM dengan besaran tarif tertentu sesuai dengan peraturan dan perundang-undangan yang berlaku. Ada beberapa pengecualian tidak dipungutnya suatu PPnBM atas barang yang tergolong mewah salah satunya menurut Pasal 1 Keputusan Presiden nomor 96 Tahun 1993 tanggal 23 Oktober 1993 menegaskan bahwa atas penyerahan Barang Kena Pajak (BKP) oleh Pengusaha Kena Pajak (PKP) dari Daerah Pabean Indonesia lainnya kepada PKP di Kawasan Berikat (KB) atau Entrepot Produksi untuk Tujuan Ekspor (EPTE) untuk diolah lebih lanjut, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan Barang Mewah (PPnBM) yang terutang tidak dipungut.
Menurut PMK No. 103/PMK.03/2009, Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dikenakan PPnBM 20%. Yaitu:
a) Rumah dan town house dari jenis non strata title, dengan luas bangunan 350 m2 atau lebih.
b) Apartemen, kondominium, town house dari jenis strata title, dan sejenisnya dengan luas bangunan 150 m2 atau lebih.

Pajak Pertambahan Nilai (PPN) Atas Properti

Properti dalam bentuk apapun merupakan kategori dari barang kena pajak kecuali properti yang merupakan bukan barang kena pajak atau dikecualikan menurut UU 42 Tahun 2009. Pada saat penjualan properti,Sejak diberlakukannya, SE-22/PJ.51/2002, Pengusaha Properti dikenakan PPN 10% atas penjualannya denagn Dasar Pengenaan Pajak seluruh harga jual. Menurut PMK No. 103/PMK.03/2009, Kelompok hunian mewah seperti rumah mewah, apartemen, kondominium, town house, dan sejenisnya dikenakan PPnBM 20%.
Properti yang dihasilkan dari kegiatan membangun sendiri diatur dalam UU PPN Pasal 16C, PMK No. 39/PMK.03/2010, Kegiatan membangun sendiri terutang PPN. Dasar Pengenaan Pajak adalah 40% (empat puluh persen) dari jumlah biaya yang dikeluarkan dan/atau yang dibayarkan untuk membangun bangunan, tidak termasuk harga perolehan tanah. Berdasarkan Pasal 16C Undang-Undang nomor 8 TAHUN 1983 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang nomor 11 TAHUN 1994 (UU PPN), PPN dikenakan atas kegiatan membangun sendiri yang dilakukan tidak dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaan oleh orang pribadi atau badan yang hasilnya digunakan sendiri atau digunakan pihak lain yang batasan dan tata caranya ditetapkan oleh Menteri Keuangan. Sesuai dengan ketentuan Pasal 1 ayat (1), (2) dan ayat (3) Keputusan Menteri Keuangan Nomor 595/KMK.04/1994 tanggal 21 Desember 1994 dan penegasan dalam Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-07/PJ.53/1995 tanggal 17 Maret 1995 disebutkan antara lain bahwa kegiatan membangun sendiri yang menjadi objek PPN adalah membangun sendiri bangunan yang diperuntukkan bagi tempat tinggal/tempat usaha, luas bangunan 400 m2/lebih, dan bangunan bersifat permanen.
Dalam kegiatan sewa menyewa ruangan, Atas penyerahan Jasa sewa ruangan dikenakan PPN 10% sesuai UU PPN No. 42/2009 pasal 4 bila penyerahan Jasa Kena Pajak di dalam Daerah Pabean dilakukan oleh Pengusaha Kena Pajak. Jaasa persewaan ruanagn juga bukan termasuk Jasa yang dibebaskan dari PPN dalam PP No. 38 Tahun 2003.
Jenis properti yang diperuntukan bagi para transmigran, PPN yang melekat diatur berdasarkan Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak Nomor SE-28/PJ.32/1986 tanggal 31 Mei 1986 dan Buku Petunjuk Pengelolaan Pajak-pajak Negara bagi Bendaharawan Pemerintah edisi bulan Juni 1995 halaman 42 Nomor 23.11, atas pembayaran jasa pematangan tanah (land clearing) untuk transmigrasi atau reboisasi tidak dipungut PPN/PPn BM oleh Bendaharawan. Menurut surat kepala Kantor Pelayanan Pajak Bandar Lampung Nomor S-162/NPJ.03/KP.0907/1995 tanggal 6 Nopember 1995, jasa pematangan tanah untuk transmigrasi dikenakan PPN. Mengingat PPN tidak disediakan dalam DIP, maka harga pekerjaan Land Clearing dalam kontrak tidak termasuk PPN. Selain itu, Rumah petani peserta PIR dan rumah transmigran (termasuk sarana air bersih) merupakan rumah yang bentuk ataupun nilainya jauh di bawah rumah BTN/KPR-70, maka rumah untuk petani peserta PIR dan rumah untuk transmigran (termasuk sarana air bersih) dapat digolongkan dalam kelompok rumah murah yang Pajak Pertambahan Nilainya ditanggung Pemerintah sebagaimana dimaksud pada Pasal 2 angka 2 Keputusan Presiden Nomor 18 Tahun 1986, sehingga Pajak Pertambahan Nilai yang terutang atas penyerahan rumah petani peserta PIR dan rumah untuk transmigran (termasuk sarana air bersih) ditanggung Pemerintah.
Properti yang termasuk kategori rumah susun sendiri diatur berdasarkan Pasal 2 PP Nomor 146 Tahun 2000 sebagaimana telah diubah dengan PP Nomor 38 Tahun 2003, atas penyerahan Barang Kena Pajak berupa rumah sederhana, rumah sangat sederhana dan rumah susun sederhana, dibebaskan dari pengenaan PPN. Adapun batasan rumah sederhana, rumah sangat sederhana dan rumah susun sederhana ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 36/PMK.03/2007 Tentang Batasan Rumah Sederhana, Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, Pondok Boro, Asrama Mahasiswa Dan Pelajar Serta Perumahan Lainnya Yang Atas Penyerahannya Dibebaskan Dari Pengenaan Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 80/PMK.03/2008, batasan Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana dijelaskan dalam paragraf-paragraf di bawah ini.
Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat/RSH) dan Rumah Inti Tumbuh (RIT) yang perolehannya, secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, atau melalui pembiayaan berdasarkan prinsip syariah, yang memenuhi ketentuan:
a. harga jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah); dan
b. merupakan rumah pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.
Termasuk Rumah Sederhana dan Rumah Sangat Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah Rumah Sederhana Sehat (Rs Sehat/RSH) dan Rumah Inti Tumbuh (RIT) yang diserahkan kepada Bank dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah yang memenuhi ketentuan:
a. harga jual tidak melebihi Rp 55.000.000,- (lima puluh lima juta rupiah);
b.dibeli oleh bank dengan tujuan untuk dijual kembali kepada masyarakat yang berpenghasilan rendah dalam rangka pembiayaan berdasarkan prinsip syariah; dan
c.rumah tersebut harus dijual kembali kepada masyarakat berpenghasilan rendah dalam jangka waktu 6 (enam) bulan sejak dibeli.
Rumah Susun Sederhana yang dibebaskan dari pengenaan Pajak Pertambahan Nilai adalah bangunan bertingkat yang dibangun dalam suatu lingkungan yang dipergunakan sebagai tempat hunian yang dilengkapi dengan KM/WC dan dapur baik bersatu dengan unit hunian maupun terpisah dengan penggunaan komunal, yang perolehannya secara tunai ataupun dibiayai melalui fasilitas kredit bersubsidi maupun tidak bersubsidi, yang memenuhi ketentuan:
a. harga jual untuk setiap hunian termasuk strata title tidak melebihi Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah);
b. luas bangunan untuk setiap hunian tidak melebihi 21 m2 (dua puluh satu meter persegi);
c. pembangunannya mengacu pada Peraturan Menteri Pekerjaan Umum yang mengatur mengenai Persyaratan Teknis Pembangunan Rumah Susun; dan
d. merupakan unit hunian pertama yang dimiliki, digunakan sendiri sebagai tempat tinggal dan tidak dipindahtangankan dalam jangka waktu 5 (lima) tahun sejak dimiliki.

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) Atas Properti

Transaksi ataupun keberadaan dari suatu properti akan selalu terikat dengan suatu pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) atas properti tersebut. Pengaturan mengenai PBB terdapat dalam Undang-undang No 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-undang No 12 tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
Dengan disahkannya RUU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) menjadi Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 Tentang PDRD. Pada akhir tahun 2013 nanti, PBB untuk sektor Pedesaan dan Perkotaan (P2) akan dikelola oleh PEMDA. Dengan begitu ada dua UU yang mengatur tentang PBB. UU No.12 Tahun 1985 jo. UU No. 12 Tahun 1994 untuk PBB sektor Perkebunan, Pertambangan, dan Perhutanan (P3) dan UU No. 28 Tahun 2009 untuk PBB sektor (P2).
Berdasarkan Penjelasan Pasal 3 ayat (2) UU PBB, PBB adalah pajak negara yang sebagian besar penerimaannya merupakan pendapatan daerah yang antara lain dipergunakan untuk penyediaan fasilitas yang juga dinikmati oleh Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Pada awalnya PBB merupakan pajak yang proses administrasinya dilakukan oleh pemerintah pusat dan seluruh penerimaannya dibagikan ke daerah dengan proporsi tertentu. Dalam perkembangan selanjutnya, diberlakukan Undang-Undang Nomor 28 tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah dimana seluruh proses pengelolaan PBB, khususnya sektor pedesaan dan perkotaan akan dilakukan oleh pemerintah daerah. Besarnya tarif PBB yang dikenakan atas objek pajak adalah sebesar 0,5%.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 110/PMK.03/2009 tentang Perubahan atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 362/KMK.04/1999 tentang Pemberian Pengurangan Pajak Bumi dan Bangunan, besarnya insentif PBB Properti adalah berupa:
a. NJKP (Nilai Jual Kena Pajak) 20% untuk NJOP (Nilai Jual Objek Pajak) < Rp 1 Miliar;
b. pemberian NJOPTKP (Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak);
c. pemberian pengurangan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
Berdasarkan Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994, yang dimaksud dengan :
1). Bumi adalah Permukan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya. Permukaan bumi tersebut meliputi seluruh tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia.
2). Bangunan adalah Konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada tanah dan/ perairan.
Berikut ini juga termasuk dalam kategori bangunan :
– jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang merupakan satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut;
– jalan TOL;
– kolam renang;
– pagar mewah
– tempat olah raga;
– galangan kapal, dermaga;
– taman mewah;
– tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak;
– fasilitas lain yang memberikan manfaat;
3). Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek pajak yang sejenis, atau Nilai Perolehan Baru, atau Nilai Jual Objek Pajak Pengganti.
Yang dimaksud dengan :
– Perbandingan harga Objek lain yang sejenis adalah suatu pendekatan penilaian dengan cara membandingkan dengan Objek lain yang sejenis (kriteria fisik), letaknya berdekatan, fungsi penggunaanya sama dan elah diketahui harga jualnya. Dalam Ilmu Penilaian Properti Pendekatan ini dikenal dengan istilah Pendekatan Perbandingan Nilai Pasar Wajar. Mengapa saya mengaitkan ilmu PBB dengan Penilaian, khususnya Penilaian property, hal ini karena antara PBB dan Penilaian ada kaitan yang erat yaitu dalam penentuan NJOP seorang penilai PBB harus memiliki kompotensi dalam bidang penilaian property. Hal ini dikarenakan tidak semua OP dapat diketahui NJOP-nya dengan melalui harga transaksi jual beli.
– Nilai Perolehan baru merupakan pendekatan yang digunakan dengan cara menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk memperoleh Objek tersebut pada saat penilaian dilaksanakan, yang kemudian dikurangi dengan penyusutan fisik yang terjadi pada Objek tersebut. Dalam penilaian property pendekatan tersebut dikenal dengan Pendekatan Biaya, namun biasanya pengurangan penyusutan yang digunakan tidak hanya atas penyusutan fisik, tetapi juga atas penyusutan fungsi dan penyusutan ekonomi.
– Nilai Jual pengganti adalah pendekatan yang digunakan untuk menentukan NJOP berdasarkan pada hasil produksi Objek tersebut. namun, cara ini belum umum digunakan dalam penilaian untuk tujuan PBB. Padahal, menurut saya pendekatan ini sangat cocok digunakan untuk menilai properti-properti yang mengahasilkan pendapatan (Income Producing Property). Dalam penilaian disebut dengan pendekatan pendapatan.
4). Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) adalah surat yang digunakan oleh Wajib Pajak untuk melaporkan data Objek Pajak berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Adanya penggunaan SPOP menunjukan sisi prinsip self assessment yang terjadi pada pemungutan PBB, namun dalam PBB juga terdapat prinsip official assessment karena penghitungan PBB Objek Pajak masih dilakukan oleh fiskus yang kemudian diberitahukan kepada Wajib pajak melalui SPPT. Hal inilah yang membuat PBB, menurut saya, menjadi pajak yang unik. Perhitungan PBB yang masih dilakukan oleh pihak fiskus bias jadi karena minimnya pengetahuan Wajib pajak tentang bagaimana cara menghitung PBB atau karena tidak semua Wajib Pajak mengetahui NJOP dari Objek miliknya.
5). Surat Pemberitahuan Pajak Terutang (SPPT) merupakan surat yang digunakan oleh Direktorat Jenderal Pajak (DJP) untuk memberitahukan besarnya pajak terutang kepada Wajib Pajak. SPPT ini juga merupakan dasar penagihan pajak yang digunakan dalam rangka penagihan PBB, selaian menggunakan Surat Ketetapan Pajak (SKP) dan Surat tagihan Pajak (STP).
6). Pada Pasal 2 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 disebutkan bahwa Objek PBB adalah Bumi dan Bangunan adalah Bumi dan Bangunan.
7). Pada Pasal 4 ayat 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 disebutkan bahwa Subjek Pajak adalah adalah orang pribadi atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan. Hal yang sama disebutkan dalam Pasal 78 ayat 1 UU No. 28 tahun 2009 tentang pengertian Subjek Pajak.
Berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009, yang dimaksud dengan :
1). Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaanadalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai,dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan,kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usahaperkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
2). Pada Pasal 77 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2009, Termasuk dalam pengertian Bangunan adalah:
a. Jalan lingkungan yang terletak dalam satu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya,yang merupakan suatu kesatuan dengan kompleks Bangunan tersebut;
b. Jalan tol;
c Kolam Renang;
d. Pagar mewah;
e. Tempat olahraga;
f. Galangan kapal, dermaga;
g. Tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak; dan
h. Menara.
Dapat dilihat bahwa ada sedikit perbedaan (pengspesifikasian) yang membahas mengenai yang termasuk dalam kategori bangunan pada Pada Pasal 77 ayat 2 UU No. 28 Tahun 2009 dan Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994, yaitu pada huruf h yang berbunyi menara, sedangkan pada Pasal 1 Undang-Undang No 12 Tahun 1985 jo. Undang-Undang No 12 tahun 1994 huruf h adalah fasilitas lain yang memberikan manfaat.
3).Pada Pasal 77 ayat 1 UU No. 28 tahun 2009 disebutkan bahwa Objek Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan adalah Bumi dan/atau Bangunan yang dimiliki, dikuasai, dan/atau dimanfaatkan oleh orang pribadi atau Badan, kecuali kawasan yang digunakan untuk kegiatan usaha perkebunan, perhutanan, dan pertambangan.
4). Pengertian Subjek Pajak pada UU No. 28 tahun 2009 sama dengan pengertian Subjek pajak pada UU No 12 Tahun 1985 jo. UU No 12 tahun 1994.
Sejak adanya Undang-Undang baru tentang Pajak Daerah (UU No. 28/2009), PBB Pedesaan dan Perkotaan (PBB selain untuk hasil pertambangan, kehutanan dan hasil bumi) merupakan Pajak Daerah yang diatur oleh Peraturan daerah. Menurut UU No. 28/2009 Pasal 77-84, tarif maksimal PBB adalah 3% dengan Dasar Pengenaan Pajak berupa NJOP dikurangi NJOPTKP yang ditetapkan Kepala Daerah 3 tahun sekali.

Bea Perolehan Hak Tanah dan Bangunan (BPHTB) Atas Properti

Kewajiban perpajakan selanjutnya adalah mengenai Bea perolehan Hak Tanah dan Bangunan selanjutnya disebut BPHTB yaitu pajak yang timbul akibat peralihan hak atas tanah dan bangunan, baik orang pribadi maupun badan. Objek dari BPHTB adalah orang atau badan bersangkutan. Setiap peralihan suatu hak kepemilikan properti yang dimaksud dalam pengertian ini adalah tanah dan bangunan akan dikenakan pajak.
Pengaturan mengenai BPHTB terdapat dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2000 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1997 tentang Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan.
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU BPHTB, BPHTB adalah pajak yang dikenakan atas perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. BPHTB tersebut dikenakan kepada pembeli (Pasal 2 ayat (1) dan ayat (2) UU BPHTB). Besarnya tarif pajak BPHTB adalah sebesar 5%.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 104/PMK.01/2005, sebagaimana diubah dengan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 91/PMK.03/2006 tentang Perubahan Kedua Atas Keputusan Menteri Keuangan Nomor 561/KMK.03/2004 tentang Pemberian Pengurangan Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan, insentif BPHTB properti berupa:
a. Pemberian NPOTKP (Nilai Perolehan Objek Pajak Tidak Kena Pajak);
b. Pemberian pengurangan karena kondisi tertentu wajib pajak yang ada hubungannya dengan objek pajak dan/atau karena sebab-sebab tertentu lainnya.
Menurut UU No. 20 tahun 2000 mengenai BPHTB, yang menjadi objek pajak adalah perolehan hak atas tanah dan atau bangunan. Perolehan hak atas tanah dan atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) meliputi :
a. Pemindahan hak karena :
1. jual beli;
2. tukar-menukar;
3. hibah;
4. hibah wasiat;
5. waris;
6. pemasukan dalam perseroan atau badan hukum lainnya;
7. pemisahan hak yang mengakibatkan peralihan;
8. penunjukan pembeli dalam lelang;
9. pelaksanaan putusan hakim yang mempunyai kekuatan hukum tetap;
10. penggabungan usaha;
11. peleburan usaha;
12. pemekaran usaha;
13. hadiah.

c. Pemberian hak baru karena :
1. kelanjutan pelepasan hak;
2. diluar pelepasan hak.

Hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) adalah :
a. hak milik;
b. hak guna usaha;
c. hak guna bangunan;
d. hak pakai;
e. hak milik atas satuan rumah susun;
f. hak pengelolaan

Pajak Penghasilan (PPh) Dalam Bisnis Properti

Dalam transaksi jual beli Properti yang berupa tanah dan bangunan, segala macam transaksi telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 71 Tahun 2008 Tanggal 4 Nopember 2008 Tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan Pemerintah Nomor 48 Tahun 1994 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan dalam pasal 4 (1) menyatakan bahwa besarnya Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, kecuali atas pengalihan hak atas Rumah Sederhana dan Rumah Susun Sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenai Pajak Penghasilan sebesar 1% (satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. Dikecualikan dan kewajiban pembayaran atau pemungutan Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (1) dan Pasal 3 ayat (1) adalah:
a. orang pribadi yang mempunyai penghasilan di bawah Penghasilan Tidak Kena Pajak yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dengan jumlah bruto pengalihannya kurang dari Rp60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah;
b. orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 ayat (2) huruf c;
c. orang pribadi yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan;
d. badan yang melakukan pengalihan tanah dan/atau bangunan dengan cara hibah kepada badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, yang ketentuannya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan; atau
e. pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan karena warisan.
Dalam Peraturan Pemerintah pasal 8 tersebut menyebutkan Bagi Wajib Pajak yang melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, pembayaran Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) bersifat final
Adapun menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 Tanggal 26 Agustus 1996 Tentang Pembayaran PPh Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah dan/atau Bangunan menetapkan bahwa Yang dimaksud dengan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan antara lain : penjualan, tukar-menukar atau ruislag, perjanjian pemindahan hak, pelepasan hak, penyerahan hak, lelang, hibah atau cara lain yang disepakati oleh pihak-pihak yang bersangkutan. Dalam hal pengalihan dengan cara lain termasuk pengalihan hak sehubungan dengan :
– warisan;
– sewa guna usaha dengan hak opsi
– sale and lease back;
– penyetoran modal saham dalam bentuk tanah dan/atau bangunan;
– pengalihan hak sehubungan dengan bangun guna serah;
– penggabungan, peleburan, pemekaran, pemecahan dan pengambilalihan usaha;
– pembubaran badan hukum ;
– putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Besarnya Pajak Penghasilan yang harus dibayar sehubungan dengan pengalihan atas tanah dan/atau bangunan sebagaimana dimaksud dalam butir 1 dalam Surat Edaran tersebut tersebut adalah 5 % (lima persen) dari nilai yang tertinggi antara nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan pada saat terjadinya pengalihan hak dengan nilai berdasarkan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) atas tanah dan/atau bangunan tersebut, kecuali untuk pengalihan hak atas tanah dan bangunan rumah sederhana, rumah sangat sederhana, dan rumah susun sederhana yang dilakukan oleh Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dikenakan Pajak Penghasilan sebesar 2 % (dua persen).
Pada saat pembelian properti, Berdasarkan PMK No. 253/PMK.03/2008, atas penjualan apartemen, kondominium, dan sejenisnya dengan harga jual atau pengalihannya lebih dari Rp10.000.000.000,00 (sepuluh milyar rupiah) dan/atau luas bangunan lebih dari 400m2 (empat ratus meter persegi); dipungut PPh 22 sebesar 5% (lima persen) dari harga jual tidak termasuk Pajak Pertambahan Nilai dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPN dan PPnBM). PPh 22 tersebut dapat diperhitungkan sebagai pembayaran Pajak Penghasilan dalam tahun berjalan bagi Wajib Pajak yang melakukan barang yang tergolong sangat mewah.
Pada saat penyewaan properti, Berdasarkan PP No. 5/2002 j.o PP No. 29/1996, terdapat PPh final atas persewaan tanah dan bangunan sebesar 10% dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan. Pajak Penghasilan ini dipotong dari pembayaran sewa oleh penyewa atau disetor langsung oleh yang menyewakan. Selain itu, PPh 23 juga dikenakan atas Building Management Service yaitu Berdasarkan UU No. 36/2008 pasal 23 j.o PMK No. 244/PMK.03/2008, atas pembayaran tagihan jasa manajemen untuk rumah susun/apartemen, terutang PPh 23 sebesar 2% dipotong dari pembayaran tagihan oleh penyewa.
Bagi Wajib Pajak orang pribadi , yayasan atau organisasi yang sejenis dan Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan PPh yang dikenakan adalah bersifat final. Selain itu, apabila Wajib Pajak Badan lainnya dan Wajib Pajak Badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam hal melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan bukan sebagai barang dagangan, merupakan pembayaran Pajak Penghasilan Pasal 25 yang dapat diperhitungkan dengan Pajak Penghasilan yang terutang dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Adapun Pengecualian yang dimaksud Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.33/1996 diatas dari kewajiban pembayaran atau pemungutan PPh yaitu diberikan kepada :
a. Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya kurang dari Rp. 60.000.000,00 dan bukan merupakan jumlah yang dipecah-pecah, sepanjang jumlah penghasilan selain penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tidak melebihi PTKP.
b. Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pemerintah untuk kepentingan umum yang memerlukan persyaratan khusus.
c. Orang Pribadi yang melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunansehubungan dengan hibah yang diberikan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, dan kepada badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang hibah tersebut tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan.
d. Ahli waris yang menerima pengalihan pengalihan hak atas tanah dan/ bangunan sehubungan dengan penerimaan warisan.
Disamping pengecualian pada butir 3.1 menurut Surat Edaran tersebut, ada beberapa ketentuan khusus sehubungan dengan pengenaan PPh atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, yaitu :
a. Sewa guna usaha dengan hak opsi.
Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan pelaksanaan opsi sewa guna usaha dengan hak opsi maka lessor harus membayar 5 % dari nilai sisa (residual value) yang tercantum dalam perjanjian.
b. Sale and lease back. Pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan secara “sales and lease back” merupakan pemindah tanganan hak dengan 2 (dua) transaksi, penjelasan sebagai berikut :
b.1 transaksi pertama, pada saat pemilik hak atas tanah dan/atau bangunan (calon lessee) menjual tanah dan/atau bangunan kepada lessor harus dibayar Pajak Penghasilan sebesar 5 % (lima persen) dari nilai tertinggi antara nilai berdasarkan akta pengalihan hak dengan NJOP tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan.
b.2 transaksi kedua, pada saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli kembali hak atas tanah dan/atau bangunan terutang Pajak Penghasilan sebesar 5 % dari nilai sisa (residual value) yang tercantum dalam perjanjian.
b.3 dalam hal lessee menggunakan hak opsi lebih cepat dari waktu yang tercantum dalam perjanjian sewa guna usaha atau apabila lessee ingkar janji sehingga lessor mengalihkan hak atas tanah dan/atau bangunan kepada pihak lain, maka lessor harus membayar Pajak Penghasilan sebesar 5 % (Lima persen) dari jumlah yang harus dipenuhi oleh lessee sehubungan dengan dipercepatnya penggunaan hak opsi tersebut atau dari jumlah yang harus dibayar pihak lain.
c. Penggabungan, peleburan, dan pemekaran usaha Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dalam rangka penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha tidak terutang Pajak Penghasilan, sepanjang memenuhi ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 637/KMK.04/1994 sebagaimana telah diubah terakhir dengan ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor : 474/KMK.04/1995.
d. Bangun Guna Serah Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan transaksi bangun guna serah (BOT) berlaku ketentuan Keputusan Menteri Keuangan Nomor :248/KMK.04/1995 dan SE-38/PJ.4/1995.
e. Tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan milik Pemerintah Pusat/Daerah dengan cara lelang tidak dikenakan Pajak Penghasilan.
Sesuai dengan Pasal 8 ayat (3) PP Nomor 27 Tahun 1996 atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang jumlah brutonya lebih kecil dari Rp 60.000.000,00 (enam puluh juta rupiah) dan dilakukan oleh orang pribadi yang penghasilannya melebihi PTKP, pembayaran PPh yang terutang sebesar 5 % bersifat final tidak dikaitkan dengan saat penandatanganan akta oleh PPAT atau pada saat pembayaran oleh Bendaharawan seperti tersebut tetapi wajib dibayar sendiri oleh Wajib Pajak orang Pribadi yang mengalihkan hak selambat-lambatnya pada akhir tahun takwim.
Perlakuan pajak penghasilan sehubungan dalam penyertaan modal dalam bentuk tanah dan bangunan telah diatur dalam Pasal 4 ayat (3) huruf e UU Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 7 Tahun 1991, diputuskan dalam Surat Dirjen Pajak Nomor S-127/PJ.33/1995 Tanggal 31 Agustus 1995 Tentang Pajak Penghasilan Sehubungan Dengan Penyetoran Modal Dalam Bentuk Tanah Dan Bangunan yang menyatakan bahwa Keuntungan karena pengalihan harta orang pribadi, harta anggota firma, perseroan komanditer atau kongsi tersebut kepada perseroan terbatas dalam negeri sebagai pengganti sahamnya, bukan merupakan Objek Pajak Penghasilan dengan syarat:
1). pihak yang mengalihkan atau pihak-pihak yang mengalihkan secara bersama- sama memiliki paling sedikit 90% (sembilan puluh persen) dari jumlah modal yang disetor;
2). pengalihan tersebut diberitahukan kepada Direktur Jenderal Pajak;
3). pengenaan pajak dikemudian hari atas keuntungan tersebut terjamin.
Pajak penghasilan atas Properti terutama berupa tanah dan bangunan tidak hanya seputar jual beli saja, persewaan yang terjadi dengan objek tanah dan bangunan telah diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 5 Tahun 2002 Tanggal 23 Maret 2002 Tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 1996 Tentang Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan dalam Pasal 2 yang menyatakan bahwa Atas penghasilan sebagaimana dimaksud adalah yang diterima atau diperoleh dari penyewa yang bertindak atau ditunjuk sebagai Pemotong Pajak, wajib dipotong Pajak Penghasilan oleh penyewa. Dalam hal penyewa bukan sebagai Pemotong Pajak maka Pajak Penghasilan yang terutang wajib dibayar sendiri oleh orang pribadi atau badan yang menerima atau memperoleh penghasilan. Mengenai tariff, dalam pasal 3 menjelaskan besarnya Pajak Penghasilan yang wajib dipotong atau dibayar sendiri sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 adalah sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final.
Penghasilan yang diterima atau diperoleh orang pribadi atau badan sehubungan dengan persewaan tanah dan/atau bangunan berupa tanah, rumah, rumah susun, apartemen, kondominium, gedung perkantoran, pertokoan, atau pertemuan termasuk bagiannya, rumah kantor, toko, rumah toko, gudang dan bangunan industri, terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final.
Pelaksanaan pembayaran dan pemotongan Besarnya Pajak Penghasilan yang terutang sebagaimana dimaksud dalam adalah :
a. sebesar 6% (enam persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang disewakan maupun yang menyewakannya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap;
b. sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal yang menyewakan adalah Wajib Pajak orang pribadi dalam negeri;
c. sebesar 10% (sepuluh persen) dari jumlah bruto nilai persewaan tanah dan/atau bangunan dan bersifat final dalam hal kepemilikan tanah dan/atau bangunan yang disewakan adalah milik Wajib Pajak orang pribadi tetapi yang menyewakannya adalah Wajib Pajak badan dalam negeri atau bentuk usaha tetap.
Yang dimaksud dengan jumlah bruto nilai persewaan adalah semua jumlah yang dibayarkan atau terutang oleh penyewa dengan nama dan dalam bentuk apapun juga yang berkaitan dengan tanah dan/atau bangunan yang disewa termasuk biaya perawatan, biaya pemeliharaan, biaya keamanan, biaya fasilitas lainnya dan “service charge” baik yang perjanjiannya dibuat secara terpisah maupun yang disatukan. Hal tersebut berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 394/KMK.04/1996 Tanggal 05 Juni 1996 Tentang Pelaksanaan Pembayaran Dan Pemotongan Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Dari Persewaan Tanah Dan/Atau Bangunan.
Penyewa sebagaimana dimaksud pada Pasal 3 ayat (1) dalam keputusan tersebut berkewajiban untuk:
a. memotong Pajak Penghasilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 pada saat pembayaran atau terutangnya sewa;
b. memberikan Bukti Pemotongan Pajak Penghasilan Final kepada orang atau badan yang menyewakan pada saat dilakukannya pemotongan Pajak Penghasilan;
c. menyetorkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dengan menggunakan Surat Setoran Pajak (SSP) pada bank persepsi atau Kantor Pos dan Giro, selambat-lambatnya tanggal 10 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa;
d. melaporkan Pajak Penghasilan yang telah dipotong dan disetor kepada Kepala Kantor Pelayanan Pajak tempat penyewa terdaftar sebagai Wajib Pajak, selambat-lambatnya tanggal 20 bulan berikutnya setelah bulan pembayaran atau terutangnya sewa.
Bisnis properti dalam negeri yang sedang mengalami perkembangan saat ini telah memicu para pelaku bisnis properti untuk terus melakukan perluasan dan intensifikasi usahanya, mereka yang usaha pokoknya adalah mengenai jual beli properti khususnya yang berbentuk Badan Usaha telah diatur sendiri dalam Keputusan Menteri Keuangan Nomor 393/KMK.04/1996 Tanggal 05 Juni 1996 Tentang Tata Cara Pembayaran Pajak Penghasilan Atas Penghasilan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Badan Yang Usaha Pokoknya Melakukan Transaksi Penjualan Atau Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan. Pasal 1 dari Kepmenkeu tersebut menyatakan bahwa Wajib Pajak badan yang usaha pokoknya melakukan transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan adalah Wajib Pajak badan yang melakukan transaksi penjualan atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sebagai barang dagangan, termasuk pengembang kawasan perumahan, pertokoan, pergudangan, industri, kondominium, apartemen, rumah susun, dan gedung perkantoran.
Keputusan tersebut juga menetapkan bahwa dalam properti yang berbentuk Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana, dan Rumah Sederhana adalah:
a. Rumah Sangat Sederhana adalah rumah tidak susun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 36 m2, yang dibangun di atas tanah kaveling tidak lebih dari 54 m2;
b. Rumah Susun Sederhana adalah rumah dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 36 m2 di dalam suatu rumah susun;
c. Rumah Sederhana adalah rumah tidak susun dengan luas lantai bangunan tidak lebih dari 70 m2, yang dibangun di atas tanah dengan luas kaveling lebih dari 54 m2 sampai dengan 200 m2; sepanjang nilai penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut tidak lebih dari Rp. 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah).
Penghasilan dari transaksi penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang diterima atau diperoleh Wajib Pajak badan terutang Pajak Penghasilan yang bersifat final dan dibayar sendiri oleh wajib pajak bersangkutan. Apabila pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan kepada Pemerintah, maka Pajak Penghasilan yang terutang dipungut oleh Bendaharawan atau pejabat yang melakukan pembayaran atau pejabat yang menyetujui tukar menukar. Besarnya tarif pajak atas transaksi tersebut adalah sebesar 2% (dua persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan berupa Rumah Sangat Sederhana, Rumah Susun Sederhana dan Rumah Sederhana; atau sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan lainnya.
Berdasarkan Pasal 4 ayat (1) PP 48 tahun 1994 dan perubahannya, besarnya tarif Pajak Penghasilan yang dikenakan atas penghasilan dari pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya adalah pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan (WP real estate) adalah adalah sebesar 5% (lima persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan. Khusus untuk pengalihan rumah sederhana dan rumah susun sederhana oleh Wajib Pajak yang usaha pokoknya melakukan pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan, tarifnya adalah 1%(satu persen) dari jumlah bruto nilai pengalihan. Adapun yang dimaksud dengan nilai pengalihan hak adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang PBB.
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut Surat Pemberitahuan Pajak Terutang Pajak Bumi dan Bangunan (SPPT PBB) tahun yang bersangkutan atau dalam hal SPPT belum terbit, adalah NJOP menurut SPPT PBB tahun pajak sebelumnya. Apabila tanah dan/atau bangunan tersebut belum terdaftar pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama atau Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan, maka Nilai Jual Objek Pajak yang dipakai adalah Nilai Jual Objek Pajak menurut surat keterangan yang diterbitkan Kepala Kantor yang wilayah kerjanya meliputi lokasi tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan berada.
Nilai pengalihan hak sebagaimana dijelaskan diatas menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-80/PJ/2009 Tanggal 27 Agustus 2009 Tentang Pelaksanaan Pajak Penghasilan Yang Bersifat Final Atas Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Yang Diterima Atau Diperoleh Wajib Pajak Yang Usaha Pokoknya Melakukan Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan adalah nilai yang tertinggi antara nilai berdasarkan Akta Pengalihan Hak dengan Nilai Jual Objek Pajak tanah dan/atau bangunan yang bersangkutan pada saat ditandatangani akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan oleh pejabat yang berwenang. Dalam hal pembayaran atau angsuran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan sebelum 1 Januari 2009 dan penjualan atas pengalihan tersebut belum diakui sebagai penghasilan Wajib Pajak yang melakukan pengalihan tersebut sampai dengan 31 Desember 2008 maka PPh Final atas pembayaran atau angsuran tersebut harus dibayar sebelum akta, keputusan, perjanjian, kesepakatan atau risalah lelang atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan ditandatangani oleh pejabat yang berwenang.
Apabila pembayaran atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan dilakukan dengan cara angsuran, maka Pajak Penghasilan dihitung atas dasar jumlah setiap pembayaran angsuran termasuk uang muka, bunga, pungutan dan pembayaran tambahan lainnya yang dipenuhi oleh pembeli, sehubungan dengan penjualan atau pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan tersebut tidak berlaku untuk pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan sehubungan dengan hibah kepada badan keagamaan atau badan pendidikan, atau badan sosial, atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang pihak-pihak yang bersangkutan dengan hibah tersebut tidak mempunyai hubungan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan.
Wajib Pajak yang dalam suatu tahun pajak masih berhak melakukan kompensasi atas kerugian dari tahun-tahun pajak sebelumnya, dapat mengajukan permohonan pembebasan dari pemotongan dan/atau pemungutan pajak oleh pihak lain sepanjang kerugian tersebut jumlahnya lebih besar dari pada perkiraan penghasilan netto tahun pajak yang bersangkutan. Hal tersebut sesuai dengan Ketentuan Pasal 7 ayat (1) Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 1994. Menurut Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor SE-21/PJ.4/1995 Tanggal 26 April 1995 Tentang Surat Keterangan Bebas (SKB) Pemotongan/Pemungutan Pph (Seri PPh Umum Nomor – 9) menerangkan bahwa untuk mempertimbangkan permohonan Wajib Pajak harus diperhatikan 2 (dua) faktor, yaitu:
a. besarnya kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat dikompensasikan;
b. besarnya perkiraan penghasilan netto dalam tahun berjalan.
Yang dimaksud dengan kerugian tahun-tahun pajak sebelumnya yang masih dapat di-kompensasikan, yaitu kerugian yang tercantum dalam Surat Ketetapan Pajak, atau apabila belum ditetapkan/tidak ada Surat Ketetapan Pajak, adalah kerugian yang tercantum dalam Surat Pemberitahuan Tahunan PPh.
Dalam kaitan ini hendaknya diperhatikan batas waktu kompensasi kerugian sebagai-mana diatur Pasal 6 ayat (2) atau Pasal 31 A Undang-undang Nomor 7 Tahun 1984 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 10 TAHUN 1994.
Contoh:
Tahun 1992 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 7.000.000.000,00
– menurut Surat Ketetapan Pajak rugi Rp.1.500.000.000,00
Tahun 1993 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 6.000.000.000,00
– belum ada produk ketetapan.
Tahun 1994 – menurut SPT Tahunan rugi Rp. 2.000.000.000,00
Jumlah kerugian tahun-tahun pajak yang masih dapat dikompensasikan dalam tahun pajak 1995 adalah sebesar Rp. 9.500.000.000,00 (Rp. 1.500.000.000,00 + Rp. 6.000.000.000,00 + Rp. 2.000.000.000,00).
Perlu ditegaskan bahwa besarnya kerugian yang diajukan oleh Wajib Pajak dalam permohonan keberatan atau banding yang belum mendapat keputusan dari pihak yang berwenang tidak dapat dipakai sebagai dasar pertimbangan untuk mengabulkan permohonan Wajib Pajak.
Contoh:
Kerugian menurut Wajib Pajak sesuai surat keberatan Rp. 8.000.000.000,00.
Kerugian menurut surat ketetapan pajak Rp. 5.000.000.000,00.
Yang dipakai sebagai dasar pertimbangan adalah kerugian menurut Surat Ketetapan Pajak yaitu sebesar Rp.5.000.000.000,00.
Transaksi jual beli properti biasanya meliputi cash atau pun Leasing, untuk transaksi leasing sendiri diatur sedemikian rupa dalam Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994 yaitu sebesar 5% (lima persen) dari nilai sisa (“residual value”) yang tercantum dalam perjanjian. Transaksi Sales and Lease Back pada dasarnya menurut Surat Dirjen Pajak Nomor S-133/PJ.33/1995 Tanggal 11 September 1995 Tentang Pajak Penghasilan Dari Pengalihan Hak Atas Tanah Dan/Atau Bangunan Berkaitan Dengan Transaksi Financial Leasing merupakan dua perbuatan pengalihan harta yang terpisah yang terdiri dari:
a. Transaksi penjualan harta berupa tanah dan/atau bangunan dari calon lessee kepada lessor (leasing company);
b. Transaksi sewa guna usaha atas harta yang sama antara lessor dengan lessee yang diakhiri dengan hak opsi oleh lessee untuk membeli tanah dan/atau bangunan tersebut.
Kewajiban pembayaran PPh atas transaksi Sales and Lease Back adalah pada saat calon lessee mengalihkan haknya kepada lessor sebagaimana diuraikan pada diatas, maka atas transaksi tersebut calon lessee wajib menyetor PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994 sebesar 5% dari nilai tertinggi antara lain menurut akta dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Pada saat lessee menggunakan hak opsinya untuk membeli sebagaimana diuraikan pada keterangan diatas., maka atas transaksi tersebut lessor tidak wajib menyetor PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994.
Dalam hal lessee tersebut pada keterangan diatas. tidak menggunakan hak opsinya dan apabila lessor kemudian menjual tanah dan/atau bangunan tersebut kepada pihak selain lessee, maka atas transaksi tersebut lessor wajib menyetor PPh Pasal 25 sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 PP Nomor 48 Tahun 1994 sebesar 5% dari nilai tertinggi antara nilai menurut akta dengan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) atas tanah dan/atau bangunan tersebut. Singkatnya, Sesuai KMK No. 1169/KMK.01/1991, bila membeli aset dengan capital lease atau sewa guna usaha dengan hak opsi, tidak terutang PPh 23 untuk bunganya. Dan jasa pembiayaan capital lease atau sewa guna usaha dengan hak opsi termasuk jasa keuangan yang tidak dikenakan PPN sesuai UU No. 42/2009 pasal 4A ayat 3.
Properti dalam realita bisnisnya selalu melibatkan bunga pinjaman khususnya untuk properti yang masih dalam tahap konstruksi. Peraturan mengenai perlakuan bunga dalam masa konstruksi itu sebenarnya telah diatur dalam Peraturan Pemerintah RI No. 27 tahun 1996 tanggal 16 April 1996 yang menetapkan bahwa atas pengalihan hak atas tanah dan/atau bangunan yang dilakukan oleh perusahaan real estate dalam kegiatan usaha pokoknya, dikenakan PPh sebesar 5% (atau 2% untuk RS dan RSS) yang bersifat final. Dimisalkan gedung dalam masa konstruksi, jika setelah gedung tersebut siap dipasarkan dimana harga pokoknya sudah jelas, Wajib Pajak masih membayar bunga pinjaman tersebut, maka bunga pinjaman tersebut dapat dibebankan langsung pada tahun yang bersangkutan yaitu sebesar 5% jumlah bruto nilai pengalihan yang bersifat final.
Biaya bunga overhead juga dapat menjadi suatu hal yang harus diperhatikan dalam masa konstruksi. Undang-undang Nomor 7 Tahun 1983 sebagaimana telah diubah terakhir dengan Undang-Undang nomor 10 TAHUN 1994 antara lain dinyatakan bahwa:
a. Pasal 6 ayat (1) huruf a
Bunga pinjaman dan biaya overhead termasuk dalam pengertian biaya untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
b. Pasal 9 ayat (2)
Pengeluaran (biaya) untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 (satu) tahun tidak dibolehkan untuk dibebankan sekaligus, melainkan dibebankan melalui penyusutan atau amortisasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 atau Pasal 11A.
Berdasarkan ketentuan tersebut di atas maka:
a. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun, biaya bunga yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut, yang pembebanannya melalui biaya penyusutan.
b. Dalam hal suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembelian tanah, biaya bunganya harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan tanah, namun tidak dapat dibebankan sebagai biaya penyusutan.
c. Apabila suatu pinjaman dipergunakan untuk membiayai pembangunan pabrik dan pembelian tanah serta aktiva lainnya yang tidak dapat dipisah-pisahkan perhitungan kapitalisasinya ke dalam masing-masing aktiva tersebut dapat dilakukan secara prorata.
d. Atas biaya overhead (seperti biaya gaji/tunjangan, biaya perjalanan dan biaya lain-lain) yang berkaitan dengan pembangunan pabrik atau bangunan lainnya yang timbul selama masa konstruksi harus dikapitalisir ke dalam harga perolehan pabrik/bangunan lainnya tersebut yang pembebanannya melalui biaya penyusutan. Perhitungan kapitalisasi secara prorata juga berlaku dalam hal biaya overhead berkaitan dengan pembangunan/pengadaan berbagai aktiva yang tidak dapat dipisah-pisahkan.

Teknik Audit Berbasis Komputer (Ms. Excel)

Selamat pagi rekan semua,
Pagi hari yang cukup panas di Jakarta Selatan dan sekitarnya memang, semoga panasnya jakarta ini tidak membuat semangat belajar kita nge-drop deh. πŸ™‚
Hari ini kita akan membahas dengan apa yang dimaksud TABK, dalam auditing ada dua tahap yang akan dikerjakan sehubungan dengan TABK yaitu analisis data dan manajemen data. Analisis data menyangkut:
0. Horizontal Analysis
0. Vertical Analysis
0. Ratios
0. Trend Analysis
0. Performance Measures
0. Statistics
0. Stratifications
0. Aging
0. Benford’s Law
0. Regression
0. Monte Carlo Simulation
manajemen data dilakukan dengan beberapa cara yang sedikit membutuhkan skill yang memadai di bidang audit. berikut saya lampirkan e-book gratis mengenai TABK dengan excel, selamat berkarya. πŸ™‚

Download: excel-audit-software